Saat ini kita tengah hidup di zaman yang paradoksal.
Di satu sisi, informasi tersedia dimana pun, mudah diakses, dan gratis. Melalui algoritma-algoritma, informasi bisa menghampiri kita dengan sendirinya. Di sisi lain, justru karena melimpahnya informasi tersebut, kita sering merasa kehilangan arah, sulit memilah, dan bahkan melewatkan hal-hal yang sebenarnya penting. Informasi tidak lagi menjadi barang langka atau eksklusif; siapa pun dengan koneksi internet memiliki akses terhadap sumber daya ilmu dan wawasan yang sebelumnya hanya bisa didapatkan oleh kalangan terbatas.
Hanya dengan ayunan jari di layar ponsel, seseorang dapat menerima ratusan dan ribuan informasi, baik dalam bentuk konten postingan, video pendek, dan lainnya. Ribuan informasi tersebut berjejal masuk dengan mudah ke dalam kepala. Semua informasi, baik konten receh, konten hiburan, konten edukatif dan lainnya berkompetisi untuk mencari atensi.
Sayangnya, tidak semua informasi mendapat perhatian yang layak. Di tengah derasnya arus konten viral, tren sesaat, dan sensasi media sosial, informasi yang benar-benar bernilai, malah sering kali hanya lewat sekilas dan berlalu begitu saja dalam derasnya arus konten. Ia kalah pamor dibandingkan konten ringan yang mudah dikonsumsi, menghibur, dan tak menuntut kedalaman berpikir. Fenomena ini membuat kita bukan hanya ditantang untuk mencari informasi, tetapi untuk menemukan dan menjaga yang bermakna.
Di tengah kondisi ini, kemampuan literasi tidak lagi cukup hanya dalam bentuk baca-tulis. Kita butuh literasi digital dan literasi informasi. Kemampuan ini diperlukan untuk menilai kredibilitas sumber, membandingkan data, menolak hoaks, dan memilah prioritas informasi. Dengan kata lain, ini menjadi keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup di era digital. Tanpa memiliki keterampilan tersebut, kita pun rentan terseret arus informasi, kesulitan memilah dalam tumpukan informasi, dan menjadi dangkalnya kemampuan berpikir kritis.
Alih-alih menjadi konsumen pasif, kita perlu menjadi kurator informasi.
Artinya, kita memilih dengan sadar informasi mana yang layak dikonsumsi, disimpan, dan dibagikan. Kita perlu menyadari bahwa atensi adalah poin penting dalam dunia digital saat ini. Di tengah kemudahan akses, tanggung jawab moral kita bertambah: untuk tidak hanya mengonsumsi, tetapi juga menyebarkan informasi yang memiliki nilai, yang positif, yang bersumber pada pengetahuan. Sehingga informasi yang bernilai tersebut tidak hanyut begitu saja dalam arus informasi.
Maka, di era Ketika informasi tidak lagi eksklusif seperti saat ini, peran kita semakin krusial untuk mempertahankan, mengangkat Kembali informasi-informasi yang penting dan berharga ke permukaan. Keterampilan literasi digital dan literasi informasi kita harus terus diasah untuk memungkinkan kita memilah mana informasi yang benar, bermanfaat, dan layak disebarkan, serta membentengi diri dari disinformasi, hoaks, dan konten yang menyesatkan. Di tengah derasnya arus konten, menjadi pembaca yang cerdas dan kritis adalah bentuk tanggung jawab sosial yang tak bisa diabaikan.