Koperasi Merah Putih dan Revisi Paradigma Kemiskinan                                   

Dalam lanskap pembangunan kontemporer, revisi garis kemiskinan dari pendekatan deficit consumption menuju deficit access and participation merupakan lompatan konseptual yang mendalam. Ia menandai pergeseran dari angka-angka statistik ke pemaknaan struktural tentang apa arti kemiskinan dalam kehidupan nyata. Dalam paradigma lama, kemiskinan sekadar direduksi sebagai kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minimum. Namun dalam pendekatan baru, kemiskinan didefinisikan sebagai keterbatasan dalam mengakses sumber daya, ketertinggalan dalam partisipasi ekonomi, dan eksklusi dalam pelayanan publik. Perubahan ini bukan semata soal teknis pengukuran, melainkan sebuah koreksi filosofis dan yuridis terhadap pendekatan pembangunan yang terlalu teknokratis dan eksklusif.

Dalam konteks itu, pembentukan 80.000 unit Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP) tidak hanya menjawab kegagalan pendekatan konvensional, tetapi juga menghadirkan struktur hukum baru yang transformatif. KDKMP bukanlah koperasi dalam pengertian lama yang pasif dan administratif, melainkan legal vehicle kolektif yang mendorong pemberdayaan rakyat melalui akses, partisipasi, dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi. Ia menjadi struktur hukum hidup—living law dalam istilah Eugen Ehrlich—yang lahir dari denyut nadi keadilan rakyat, dan bergerak melampaui batasan normatif formal menuju hukum yang berpihak dan aplikatif.

Paradigma Baru dalam Pengukuran Kemiskinan

Secara teoritis, pengukuran kemiskinan sebagai deficit access and participation memiliki landasan filosofis dalam gagasan participatory justice, yakni keadilan yang tidak hanya bersifat distributif (mengatur hasil), tetapi juga struktural (mengatur akses). Keadilan dalam perspektif ini mengandung elemen moral bahwa setiap warga negara tidak cukup hanya mendapat manfaat dari pembangunan, tetapi harus diberi ruang aktif untuk menentukan arah dan mekanismenya. Inilah yang kemudian melahirkan pendekatan multidimensional terhadap kemiskinan, seperti yang diusulkan oleh Amartya Sen melalui capability approach, di mana kemiskinan dipahami sebagai keterbatasan kebebasan substantif untuk menjalani kehidupan yang berharga.

Dalam kerangka hukum positif Indonesia, pendekatan ini sejalan dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Frasa ini memuat semangat kolektif, partisipatif, dan inklusif—yang menjadi basis filosofis bagi pengembangan KDKMP. Dengan prinsip one member one vote, integrasi teknologi digital, dan nilai lokal seperti gotong royong, KDKMP menghadirkan legal embodiment dari prinsip keadilan sosial dalam konteks ekonomi rakyat.

Namun pergeseran paradigma ini menimbulkan implikasi yuridis serius. Jika indikator kemiskinan bergeser dari pendapatan ke akses dan partisipasi, maka sistem hukum harus merespons melalui penyesuaian norma dan struktur kelembagaan. Di sinilah hukum tidak boleh tinggal sebagai das Sollen yang normatif, tetapi harus hadir sebagai das Sein yang operasional. Dibutuhkan perubahan regulasi, termasuk revisi Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang saat ini masih berorientasi pada indikator ekonomi konvensional.

KDKMP sebagai Inovasi Hukum Pembangunan

Dari sudut pandang yuridis normatif, KDKMP merupakan terobosan hukum dalam pengertian reformulasi norma kelembagaan koperasi. Dengan mengadopsi sistem digital melalui OSS (Online Single Submission), mengintegrasikan perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 2022, serta pengakuan identitas hukum digital, KDKMP menghadirkan legal framework koperasi digital yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan kebutuhan sosial. Ia menciptakan entitas hukum baru yang mampu menjalankan fungsi ekonomi sekaligus sosial, dan ini sangat penting untuk menjembatani jurang antara norma dan realitas, antara hukum dan pembangunan.

Konflik norma juga berpotensi muncul, terutama antara prinsip economic efficiency dalam kapitalisme modern dan prinsip equity dalam ekonomi kerakyatan. Di sinilah hukum harus menjadi arena dialektika, bukan instrumen dominasi. Koperasi digital seperti KDKMP perlu diatur melalui regulasi khusus yang menjamin keberlanjutan dan akuntabilitas, tanpa terjebak pada birokratisasi berlebih yang justru menghambat inklusi.

Dari segi asas hukum, setidaknya terdapat tiga asas yang mengemuka dalam pengembangan KDKMP: asas keadilan sosial, asas kemandirian, dan asas partisipasi. Ketiganya saling menguatkan dan menjadi koreksi atas sistem hukum ekonomi nasional yang selama ini terlalu menitikberatkan pada pertumbuhan, bukan pemerataan. KDKMP menggeser logika pembangunan dari growth-centered menjadi people-centered, dan ini hanya mungkin bila hukum bertindak sebagai fasilitator perubahan, bukan penjaga status quo.

Koperasi Digital dan Demokrasi Ekonomi

Fungsi strategis KDKMP juga terlihat dalam kemampuannya menantang dominasi model corporate capitalism yang selama ini menempatkan rakyat sebagai konsumen pasif dalam ekonomi. KDKMP menawarkan model collective ownership sebagai antitesis terhadap privatisasi layanan dasar dan sentralisasi kepemilikan aset. Ini penting dalam memperkuat legal standing rakyat dalam struktur ekonomi nasional, karena hukum koperasi yang diadopsi KDKMP menjadikan setiap anggota bukan hanya pemilik, tetapi juga pengambil keputusan.

Pendekatan ini menyentuh aspek paling mendasar dalam demokrasi ekonomi, yakni pengakuan atas kedaulatan rakyat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan teknologi sebagai pengungkit dan gotong royong sebagai fondasi nilai, KDKMP memosisikan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berakar pada kemandirian komunitas. Dalam kerangka ini, koperasi bukan sekadar alat, tetapi agent of change yang memformulasikan ulang relasi antara hukum, ekonomi, dan masyarakat.

Hukum sejati bukan hanya tertulis di undang-undang, melainkan tumbuh dari denyut nadi keadilan rakyat yang paling sunyi, ungkapan ini menegaskan bahwa hukum yang baik tidak berhenti pada teks, tetapi hidup dalam praktik yang berpihak dan membebaskan. Dalam konteks KDKMP, hukum bertindak bukan sekadar sebagai norma pembentuk, tetapi juga sebagai wahana pemberdayaan sosial.

Menuju Arsitektur Hukum Inklusif

Reformasi paradigma kemiskinan dan pendirian KDKMP adalah dua sisi dari satu mata uang: upaya transformatif untuk menciptakan sistem hukum dan ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Kajian ini menegaskan bahwa hukum tidak boleh hanya bersifat normatif dan prosedural, tetapi harus mengambil posisi sebagai katalisator perubahan struktural melalui regulasi yang progresif, partisipatif, dan responsif terhadap dinamika zaman.

Koperasi Merah Putih bukan hanya lembaga ekonomi, tetapi struktur hukum hidup yang mengintegrasikan keadilan sosial, demokrasi ekonomi, dan teknologi digital. Ini memberikan kontribusi baru (novelty) bagi teori hukum pembangunan di Indonesia, dengan menempatkan koperasi digital sebagai subjek hukum yang aktif dan strategis. Pendekatan living law yang diusung KDKMP membuka jalan bagi transformasi sistemik, di mana rakyat bukan hanya objek pembangunan, tetapi aktor utama dalam produksi hukum dan pembangunan itu sendiri.

Rekomendasi normatif dari kajian ini meliputi:

  1. Reformulasi indikator kemiskinan dalam peraturan nasional, dengan mengintegrasikan dimensi akses dan partisipasi sebagai parameter utama.
  1. Pembentukan regulasi koperasi digital yang menjamin perlindungan hukum, pengakuan identitas digital, dan transparansi kelembagaan.
  2. Integrasi sistem OSS dan perlindungan data pribadi, agar tata kelola koperasi berbasis teknologi sejalan dengan prinsip good governance.
  3. Penguatan pelatihan dan kapasitas SDM koperasi, terutama di wilayah 3T, agar transformasi digital tidak memperbesar kesenjangan.
  4. Pembangunan platform digital nasional koperasi, sebagai ekosistem terintegrasi antara hukum, pelayanan publik, dan inovasi sosial.

Dengan pendekatan yuridis-filosofis yang mendalam, KDKMP menandai fase baru dalam hukum pembangunan nasional. Ia menjembatani ketimpangan melalui pendekatan hukum yang progresif, bukan represif; yang membebaskan, bukan membatasi. Dengan itu, Indonesia memiliki kesempatan membangun arsitektur hukum yang tidak hanya modern secara teknis, tetapi juga adil secara substantif.Hukum bukan sekadar aturan, ia adalah cermin nilai dan harapan yang harus tumbuh bersama rakyat,hukum tanpa keadilan adalah kekuasaan tanpa legitimasi. Maka, jadikanlah hukum sebagai suara rakyat yang bekerja demi kebaikan bersama., dan ungkapan ini menjadi fondasi etik dan filosofis bagi penguatan KDKMP sebagai pilar hukum baru dalam pembangunan nasional. Dan jika benar bahwa hukum adalah seni tentang apa yang baik dan adil (ars boni et aequi), maka KDKMP adalah mahakarya hukum dalam membangun Indonesia yang inklusif, berdaulat, dan berkeadilan sosial.

Penulis: Dr. H. Ikhsan Lubis, S.H., SpN., M.Kn, merupakan Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *