TULISAN ini membahas aspek hukum terkait kontrak pintar (smart contract) dalam sistem hukum Indonesia, termasuk definisi, kelebihan dan kelemahan, upaya hukum dalam hal sengketa, serta tingkat keamanan hukum penggunaannya.
Analisis dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), UU 11/2008 jo. UU 19/2016 jo. UU 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta peraturan pelaksana terkait.
Tujuan memorandum ini adalah memberikan pemahaman komprehensif dan rekomendasi normatif bagi para pihak yang akan atau telah menggunakan kontrak pintar dalam transaksi elektronik di Indonesia.
Definisi dan Karakteristik Kontrak Pintar (Smart Contract)
Kontrak pintar merupakan bentuk khusus dari kontrak elektronik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait informasi dan transaksi elektronik di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan Pasal 44 ayat (1) UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), kontrak pintar adalah serangkaian kesepakatan yang didigitalisasi dan dituangkan dalam format protokol komputer, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dapat dieksekusi secara otomatis melalui sistem elektronik.
Kontrak pintar dikategorikan sebagai kontrak elektronik sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 17 UU 11/2008 jo. UU 19/2016 jo. UU 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.
Secara teknis, kontrak pintar biasanya dimuat dalam bentuk kode pemrograman, disimpan dalam blockchain, dan mengeksekusi kewajiban para pihak secara otomatis sesuai ketentuan yang disepakati.
Keunggulan utama kontrak pintar meliputi efisiensi, transparansi, dan keamanan dalam pelaksanaan perjanjian, karena seluruh transaksi tercatat secara digital dan sulit diubah tanpa jejak.
Kelebihan dan Kelemahan Kontrak Pintar dalam Perspektif Hukum Indonesia
Kelebihan:
Efisiensi pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak secara otomatis melalui sistem elektronik, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 44 ayat (1) UU P2SK.
Transparansi dan keamanan lebih terjamin karena kontrak pintar disimpan dalam blockchain, sehingga setiap transaksi tercatat secara digital dan sulit diubah tanpa jejak.
Kontrak pintar dan hasil cetaknya diakui sebagai alat bukti hukum yang sah menurut Pasal 44 ayat (2) UU P2SK.
Kelemahan:
Karakteristik anonimitas pada teknologi blockchain menimbulkan tantangan dalam pembuktian kecakapan para pihak, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 46 ayat (2) PP PSTE, dan Pasal 52 PP PMSE.
Anonimitas menyulitkan identifikasi subjek hukum yang bertanggung jawab apabila terjadi wanprestasi.
Regulasi di Indonesia, khususnya Pasal 44 ayat (2) UU P2SKdan peraturan pelaksana UU ITE, masih menyisakan ambiguitas terkait keabsahan anonimitas dalam kontrak pintar.
Dengan demikian, meskipun kontrak pintar membawa keunggulan dari sisi efisiensi, transparansi, dan keamanan, terdapat kelemahan mendasar terkait aspek identitas dan kecakapan para pihak yang dapat mempengaruhi keabsahan dan pelaksanaan kontrak menurut hukum Indonesia.
Upaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Pintar
Apabila terjadi sengketa terkait kontrak pintar, upaya hukum yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut:
Gugatan perdata ke pengadilan, dengan menggunakan kontrak pintar maupun hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah berdasarkan Pasal 44 ayat (2) UU P2SK.
Pengadilan akan menilai terpenuhinya unsur kecakapan para pihak, kesepakatan, objek tertentu, dan causa yang halal sesuai Pasal 1320 dan Pasal 1330 KUHPerdata.
Penyelesaian sengketa secara alternatif, seperti arbitrase atau mediasi, dapat dipilih apabila telah disepakati dalam kontrak elektronik atau kontrak pintar, sesuai prinsip kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam hal pembuktian, kontrak pintar dan hasil cetaknya dapat diajukan sebagai alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE, serta didukung oleh ketentuan Pasal 46 ayat (2) PP PSTEdan Pasal 52 PP PMSE.
Dengan demikian, upaya hukum yang dapat ditempuh meliputi gugatan perdata ke pengadilan, penyelesaian melalui arbitrase atau mediasi, serta penggunaan kontrak pintar sebagai alat bukti elektronik yang sah dalam proses penyelesaian sengketa.
Tingkat Keamanan Hukum Penggunaan Kontrak Pintar di Indonesia
Penggunaan kontrak pintar di Indonesia belum sepenuhnya aman secara hukum, meskipun telah diakui sebagai bentuk kontrak elektronik dan alat bukti hukum yang sah.
Berdasarkan penjelasan Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU P2SK, kontrak pintar merupakan bentuk khusus dari kontrak elektronik yang diatur dalam UU ITE, serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah dalam proses peradilan.
Keabsahan kontrak pintar tetap harus memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1330 KUHPerdata, Pasal 46 ayat (2) PP PSTE, dan Pasal 52 PP PMSE.
Karakteristik anonimitas pada kontrak pintar, khususnya yang berbasis blockchain, menimbulkan tantangan hukum terkait pembuktian identitas dan kecakapan para pihak, serta penentuan subjek hukum yang bertanggung jawab apabila terjadi wanprestasi.
Regulasi di Indonesia, termasuk Pasal 44 ayat (2) UU P2SKdan peraturan pelaksana UU ITE, masih menyisakan ambiguitas terkait keabsahan anonimitas dalam kontrak pintar.
Oleh karena itu, meskipun kontrak pintar telah memperoleh pengakuan hukum, aspek keamanan hukum penggunaannya masih menghadapi tantangan, terutama terkait identitas para pihak dan kepastian pelaksanaan hak serta kewajiban.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kontrak pintar telah memperoleh pengakuan hukum di Indonesia sebagai kontrak elektronik dan alat bukti yang sah.
Namun, tantangan utama terletak pada aspek identitas dan kecakapan para pihak akibat karakteristik anonimitas blockchain, serta ambiguitas regulasi terkait.
Direkomendasikan agar para pihak memastikan pemenuhan syarat sah perjanjian, memperjelas identitas hukum, dan memilih mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif sebelum menggunakan kontrak pintar dalam transaksi elektronik.
Penulis: Kenny Wiston yang merupakan Advokat Kenny Wiston Law Office