Ceramah Agama di Ruang Publik

Tuhan telah mati (Gott ist tot)” merupakan ungkapan fenomenal filsuf Jerman Freiderich Nietzsche pada abad pencerahan (abad ke-18) yang memprediksi bahwa kepercayaan kepada Tuhan akan hilang dalam abad-abad ke depan. Ungkapan itu didukung oleh filsuf lainnya seperti Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, dan Georg Simmel dengan bahasa berbeda. Mereka meyakini bahwa kepercayaan kepada Tuhan akan tergantikan dengan ideologi rasionalisme. Ideologi rasionalisme yang dimulai oleh Rene Descartes dengan ungkapan terkenalnya cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada) menekankan pada alasan dan logika daripada pengalaman. Ideologi rasionalitas menjadikan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang dan membawa kemajuan pada budaya sehingga menyebabkan goyahnya keyakinan tradisional tentang Tuhan. Ideologi rasionalitas mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Para filsuf abad pencerahan berpendapat bahwa masyarakat modern menjadikan rasionalitas, ilmu pengetahuan, teknologi sebagai keterarahan baru menggantikan konsep Tuhan yang dianggap tidak lagi relevan bagi mereka. Keyakinan-keyakinan yang diberikan oleh agama tergantikan dengan ideologi rasionalisme. Hipotesa para filsuf abad pecerahan ‘Tuhan telah mati’ bak gayung bersambut oleh beberapa filsuf postmodern termasuk Jurgen Habermas. Habermas menyatakan bahwa agama tidak memiliki masa depan pada era postmodern. Peran agama dihimpit dan akan tercabut oleh karena tekanan sekularisme.

Hipotesa Habermas bahwa agama akan kehilangan masa depan pada era postmodernisme bahkan dengan ekstrim menyatakan bahwa agama akan mati ternyata berbalik. Di era postmodernisme, agama malah medapat tempat dalam ruang-ruang kehidupan manusia. Agama tampil dengan sangat meyakinkan di ruang publik. Agama semakin diandalkan dalam setiap dinamika dan problematika yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Optimisme kehadiran agama disambut positif bahkan menjadi kiblat tak terbantahkan bagi umat manusia. Tidak berlebihan kalau era postmodern sebagai masa renaisans (kebangkitan kembali) agama untuk umat manusia. Agama hadir dalam berbagai macam kehidupan manusia dengan segala macam tampilan.

Merujuk tulisan Bandur (2023), kehadiran agama-agama yang memasuki setiap aspek kehidupan manusia, seperti di Indonesia, semakin lama menegaskan aspek transendensi agama dalam sejarah perjalanan manusia. Beberapa peneliti sebelumnya (Ahnaf, 2013; Renhoard, 2022; Saefulloh, 2011) menyebut kebangkitan agama ditandai oleh panorama berikut, pertama, peningkatan jumlah agama-agama baru; kedua, aneka model interpretasi dan dakwah keagamaan; ketiga, penggunaan ruang publik dengan simbol agama; keempat, peningkatan spot-spot otoritas keagamaan. Kelima, ruang deotorisasi teks keagamaan semakin tinggi. Sekitar tahun 1985-2000-an, dalam bukunya yang berjudul Postmetaphysical Thinking (1989), Habermas mengajak pembaca untuk tidak mengabaikan agama. Agama adalah suatu kebutuhan eksistensial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari para individu karena agama dipandang sebagai good-life.

Lalu bagaimana dengan kebangkitan agama?

Dari antara panorama kebangkitan agama, dakwah keagamaan atau ceramah keagamaan menyita perhatian pada akhir-akhir ini. Interpretasi isi Kitab Suci dan ajaran agama merupakan otoritas masing-masing agama. Seorang penceramah ketika menafsir isi Kitab Suci dan ajaran agama tentu berpijak pada pakem-pakem yang sudah terdapat dalam agama. Menjadi masalah ketika penceramah menyampaikan pesan di ruang publik dengan menyinggung agama lain. Pertanyaannya, apakah eligible seorang penceramah menyinggung agama lain ketika berceramah? Pertanyaan ini bukan untuk mendapat jawaban iya atau tidak melainkan sebagai bahan refleksi bersama di tengah kemajemukan agama di Indonesia. Seorang penceramah dalam menyampaikan agama di ruang publik setidaknya ada 2 hal yang perlu diperhatikan. Pertama, setiap agama memiliki metode dan aturan dalam melakukan interpretasi terhadap Kitab Suci dan ajaran agamanya. Interpretasi tentunya dilakukan dengan kajian mendalam, hati-hati, melihat latar belakang konteks dan teks (historical-critical method), dan tafsir teks yang utuh. Dengan interpretasi yang integral, teks ceramah akan lebih bernas, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan sesuai dengan ajaran agama. Penerapan interpretasi yang integral dapat menghindari teks ceramah yang terkesan serampangan bahkan mengarah pada menyinggung agama lain. Ceramah yang disampaikan di ruang publik harus bebas nilai dan memperhatikan etika. Bebas nilai artinya teks ceramah menjunjung interpretasi integral dan memperhatikan etika artinya mempertimbangkan pluralitas Indonesia dan menghormati perbedaan. Misalnya, dalam agama Katolik, tafsir Kitab Suci harus melibatkan pendekatan yang komprehensif dan terstruktur yang mencakup Kitab Suci, tradisi, dan magisterium (wewenang mengajar resmi Gereja).

Kedua, ceramah yang disampaikan harus aplikatif. Penceramah tidak hanya sekedar menginterpretasi teks Kitab Suci dan ajaran agama saja tetapi harus memberi contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pendidikan setiap orang berbeda sehingga pemahaman terhadap ceramah juga beragam. Cara efektif supaya audiens mudah memahami ceramah dapat dilakukan dengan memberi contoh nyata yang terdapat dalam hidup sehari-hari. Penyampaiannya dapat dilakukan dengan perumpamaan, analogi, kiasan, cerita lucu/anekdot. Pesan ceramah yang aplikatif dapat menghindarkan penceramah menyampaikan pesan keagamaan di luar konteks. Penceramah juga harus selektif dalam menjawab pertanyaan karena tidak semua pertanyaan harus dijawab sebab penceramah bukan ahli di segala bidang. Penceramah jangan takut dikatakan tidak kompeten sebab ada otoritas lain yang lebih berkompeten sesuai dengan bidangnya. Apabila terdapat pertanyaan berkaitan dengan agama lain, penceremah harus menjawab seusai dengan nilai-nilai kebangsaan atau bisa saja untuk tidak menjawab demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sebagaimana dikatakan Habermas, agama menjadi pedoman utama dalam kehidupan manusia pada zaman ini. Penyampaian ajaran agama melalui ceramah agama di ruang publik baik dengan menggunakan metode konvensional tatap muka maupun dengan media digital merupakan salah satu cara untuk memperkokoh dan menjelaskan inti iman agama. Penyampaian ajaran agama dengan ceramah harus memperhatikan nilai-nilai kebangsaan. Dalam menyampaikan pesan agama, seorang penceramah harus fokus pada inti ajaran agama tanpa menjelekkan ajaran agama yang lain sehingga ketika mendengar ceramah agama kita mendapatkan pesan yang mendamaikan bangsa ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *