Di sudut kota kecil yang penuh suara telolet klakson bus. ada sebuah warung kopi bernama “Warkop Bg Rata”. Letaknya strategis, tepat di dekat polsek dan tempat tambal ban yang buka kalau ada yang kempes dan kebetulan bapaknya bangun.
Warung ini bukan sekadar tempat minum kopi. Di sinilah semua masalah negara dibahas tanpa solusi. Mulai dari perbedaan harga bawang merah dan bawang putih yang terkesan rasis, sampai konspirasi global kenapa odol selalu lebih mahal dari sikat gigi.
Pak Ridho lagi resah. Bukan karena harga bawang merah, tapi karena berita pagi:
“Trump naikin tarif 19% buat barang dari Indonesia!”
Pak Rahim datang, naruh helm, duduk, mesan kopi hitam, lalu nyeletuk:
“Lagian kita heboh soal tarif, padahal kopi kita udah sampai Amerika. Tapi kita sendiri malah bangga minum kopi brand mereka, Bang.”
Syafii, yang dari tadi berdebat batin soal mana duluan, ayam atau telur, langsung motong:
“Tarif 19% itu kayak biaya parkir di mal elit. Mahal, iya. Tapi artinya barang kita dianggap pantas masuk tempat mahal. Kalau nggak laku, ngapain dipajakin segitu?”
Tiba-tiba Bang Rata, pemilik warkop yang hidupnya never flat, nimbrung sambil ngaduk kopi:
“Tarif itu kayak nama band, Bang. Enak didengar, tapi membekas di hati dan perasaan. Tapi ya sudahlah… yang penting kopiku nikmat, gak bikin kembung, dan tetap dicari walau mahal. Berlian tetap berlian. Yang penting pede. Lagian, konsumen tuh bukan cuma dia.”
Pak Rahim manggut-manggut.
“Berarti Trump cuma kasih gula sedikit, biar kita bisa bikin kopi lebih berani, ya?”
Bang Rata tertawa.
“Nah, itu baru bijak. Tarik napas, seruput kopi, hadapi hidup!”
Begitulah hidup di warkop. Tak selalu manis. Selalu hangat.
Kadang kopi sachet isi ulang, airnya diulang-ulang. Kadang cuma air hangat dengan sugesti rasa arabika.
Dari semua ini, rakyat warkop belajar satu hal:
Pajak bisa naik, harga bisa melambung, tapi tawa di warkop tidak pernah kena inflasi.
Dan siapa tahu, dari seduhan kopi sederhana, lahir semangat baru yang bikin produk lokal bisa menembus dunia—bahkan kalau harus bayar 19%.
Penulis: Anthony Hardinal Sijabat, S.E., M.M.P.P