Jabatan notaris dalam sistem hukum Indonesia tidak hanya memainkan peran teknokratis sebagai penyusun dan pengesah akta otentik, tetapi juga mengemban misi etis dan spiritual yang luhur. Melalui konsep trias officium—officium publicum, officium privatum, dan officium spirituale—jabatan ini memancarkan dimensi hukum, moral, dan transendental yang saling menyatu dalam satu tubuh jabatan. Tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan filosofis untuk mengupas jabatan notaris sebagai jalan pengabdian multidimensi: dari pelayanan publik dan perlindungan hukum hingga medium pengembangan jiwa dan spiritualitas. Dengan menelaah norma hukum, asas-asas keadilan, dan nilai budaya bangsa, tulisan ini mengemukakan bagaimana jabatan notaris dapat menjadi media taqarrub (kedekatan) kepada Tuhan serta kontribusi penting bagi transformasi etika dalam sistem hukum nasional.
Dalam lanskap kenegaraan dan hukum, jabatan notaris sering kali hanya dipahami secara sempit sebagai pelaksana administratif dalam lalu lintas hukum privat. Padahal, bila dikaji secara lebih mendalam, jabatan ini sarat dengan dimensi etis dan spiritual yang mendalam. Sebagai officium nobile (jabatan terhormat), jabatan notaris mengemban tanggung jawab tiga serangkai atau trias officium, yakni: officium publicum (tugas publik terhadap negara), officium privatum (tugas terhadap klien), dan officium spirituale (tugas moral dan spiritual terhadap Tuhan dan nurani).
Kerangka ini menggambarkan bahwa jabatan notaris tidak berhenti pada tataran teknis atau legal-formal belaka, melainkan merupakan bentuk aktualisasi diri yang menjembatani antara tugas profesional dengan panggilan etis dan spiritual. Dalam konteks Indonesia yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila dan budaya luhur, notaris berperan sebagai penegak hukum sekaligus penjaga moral publik.
Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan filosofis, tulisan ini bertujuan menjawab pertanyaan: bagaimana makna trias officium dalam jabatan notaris dapat memperkaya sistem hukum Indonesia, tidak hanya dalam dimensi legalitas, tetapi juga dalam memperkuat fondasi etik dan spiritualitas jabatan hukum?
Jabatan Notaris dalam Perspektif Trias Officium
- Officium Publicum: Legitimasi Negara dan Kepastian Hukum
Sebagai pejabat publik, notaris menjalankan mandat negara yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Dalam fungsi ini, notaris merupakan instrumen sistem hukum untuk menghasilkan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna (perfecta probatio), memberikan kepastian, perlindungan, dan keadilan bagi masyarakat.
Officium publicum mewajibkan notaris menjaga netralitas dan tidak berpihak dalam setiap perikatan hukum yang dibuktikannya. Ini adalah ekspresi dari asas fides publica—kepercayaan publik yang diberikan negara dan masyarakat kepada jabatan ini. Oleh karenanya, tanggung jawab publik ini bukan hanya bersifat legalistik, tetapi juga moralistik: menyatukan kehendak negara dengan pengabdian terhadap keadilan.
- Officium Privatum: Relasi Etis dengan Klien
Sebagai pelayan hukum bagi individu dan masyarakat, jabatan notaris memuat dimensi relasional yang bersifat personal—yang disebut officium privatum. Di dalamnya terdapat prinsip fiduciary, yakni tanggung jawab berdasarkan kepercayaan tinggi dan integritas penuh. Dalam praktiknya, notaris berperan sebagai penasihat yang menjembatani kehendak klien dengan ketentuan hukum secara jujur dan adil.
Namun, potensi konflik norma muncul ketika keinginan klien bertentangan dengan aturan hukum. Pada titik inilah pentingnya notaris menyeimbangkan kepentingan klien dan kepatuhan hukum. Asas kehati-hatian (prudentia) dan kejujuran (honestas) menjadi kunci dalam menjaga integritas jabatan ini agar tetap berada dalam koridor hukum dan moral.
Dalam konteks kebudayaan Indonesia yang mengedepankan nilai kekeluargaan dan empati sosial, relasi antara notaris dan masyarakat seharusnya bersifat edukatif sekaligus etis. Jabatan ini tidak boleh berhenti pada transaksionalitas, melainkan harus menjadi relasi transformasional—menguatkan pemahaman hukum rakyat melalui pendekatan yang manusiawi.
- Officium Spirituale: Amanah Moral dan Jalan Menuju-Nya
Officium spirituale adalah dimensi terdalam dan tertinggi dari jabatan notaris. Ini bukan fungsi formal, melainkan panggilan eksistensial. Dalam paradigma ini, setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh notaris adalah bentuk tanggung jawab moral yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Hukum tidak hanya ditegakkan demi stabilitas sosial, tetapi juga demi menyempurnakan tugas kehidupan sebagai hamba dan khalifah.
Firman Allah dalam QS. Al-Ahzab ayat 72 mengingatkan bahwa amanah adalah beban yang bahkan ditolak oleh langit dan bumi, dan manusia yang menerimanya adalah makhluk yang rawan menzalimi dan merugikan dirinya jika tidak hati-hati. Maka, jabatan adalah ujian spiritual, tempat setiap tindakan kecil memiliki nilai ibadah atau sebaliknya, pengkhianatan terhadap amanah.
Dengan pendekatan ini, notaris tidak sekadar pelayan hukum, tetapi juga faqih ruhani—pemimpin moral bagi diri dan masyarakat. Ia menjalankan hukum bukan hanya karena peraturan, tetapi karena rasa takut akan Tuhan, dan hasrat untuk hidup dalam nilai-nilai kebaikan universal.
Analisis Normatif-Filosofis dan Korelasi antar Asas Hukum
- Struktur Hukum Positif dan Konflik Norma
Jabatan notaris diatur secara rigid dalam hukum positif Indonesia melalui UUJN, kode etik, dan aturan pelaksana. Namun, sistem hukum tidak selalu mampu merangkul kompleksitas etik dan spiritualitas jabatan. Ketika norma hukum positif bertentangan dengan nilai moral atau kebenaran substansial, notaris menghadapi dilema etis yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengutip pasal.
Contoh konkret adalah pembuatan akta yang memenuhi syarat formil, tetapi bertentangan dengan substansi keadilan atau etika publik—seperti akta hibah fiktif, rekayasa jual-beli, atau perjanjian waris yang tidak adil. Di sini berlaku konflik antara validitas hukum dan kebenaran moral, antara legalitas dan keadilan substantif.
Konsep trias officium memungkinkan pendekatan integral untuk menimbang konflik ini, dengan menjadikan officium spirituale sebagai “rem batin” dalam menjaga integritas tindakan hukum. Notaris tidak cukup hanya mematuhi aturan, tetapi juga harus menjawab panggilan hati nurani dan etika universal.
2. Integrasi Filsafat Hukum dan Spiritualitas
Dalam pendekatan filsafat hukum, jabatan hukum dilihat bukan sebagai alat, tetapi sebagai bentuk praksis etis. Hukum tidak cukup hanya sah (valid), tetapi juga harus benar (true) dan baik (just). Pandangan ini sesuai dengan konsep summum bonum (kebaikan tertinggi) dalam tradisi filsafat Barat dan maqashid syariah dalam hukum Islam.
Trias officium menyatukan ketiga dimensi tersebut. Ia menjadikan jabatan sebagai jalan spiritual yang mengasah karakter dan integritas. Dalam perspektif virtue ethics, jabatan notaris adalah medan perjuangan moral yang membentuk kebijaksanaan (phronesis), keberanian moral (fortitudo), dan keikhlasan (ikhlas).
Notaris sebagai Figur Inspiratif dalam Budaya Hukum Indonesia
Jabatan hukum sering kali terjebak dalam rutinitas birokrasi yang kering dan mekanistik. Namun, jabatan notaris memiliki potensi unik sebagai agen transformasi budaya hukum. Dengan menjalankan trias officium, notaris dapat menjadi teladan etika, bukan hanya dalam arti disipliner, tetapi dalam arti inspiratif.
Dalam masyarakat yang masih lekat dengan ketidakpastian hukum dan krisis integritas, notaris seharusnya menjadi mercusuar nilai: memberikan cahaya, bukan hanya tanda tangan. Ia bukan sekadar operator hukum, tetapi penegak nilai-nilai universal—jujur, adil, amanah, dan bertanggung jawab.
Kesimpulan
Jabatan notaris sebagai trias officium merupakan konsep integral yang menyatukan kekuatan hukum positif, kedalaman nilai budaya, dan kekhusyukan spiritualitas. Sebagai officium publicum, ia mewujudkan legitimasi hukum negara; sebagai officium privatum, ia menjaga etika relasional dengan klien; dan sebagai officium spirituale, ia menjadi jalan ibadah yang memurnikan niat dan tindakan.
Paradigma ini merupakan novelty dalam pengembangan sistem hukum Indonesia karena memperluas horizon jabatan hukum dari yang bersifat teknis-formal menuju ranah nilai dan makna. Dengan menghidupkan trias officium, sistem hukum Indonesia dapat melahirkan manusia hukum yang bukan hanya taat aturan, tetapi juga arif, jujur, dan spiritual.
Rekomendasi
- Revitalisasi Kurikulum Jabatan Notaris: Pendidikan notaris perlu memasukkan muatan filsafat hukum, etika lintas iman, dan dimensi spiritualitas jabatan untuk membentuk karakter holistik calon notaris.
- Penguatan Asas Etika dan Kode Jabatan: Kode etik jabatan notaris harus dibangun di atas asas kejujuran, kesalehan pribadi, dan tanggung jawab sosial. Nilai spiritualitas perlu menjadi sumber inspirasi dalam pelaksanaannya.
- Penguatan Peran Sosial Notaris sebagai Agen Budaya Hukum: Notaris harus tampil sebagai penggerak kesadaran hukum masyarakat, bukan hanya pelaksana teknis. Perlu didorong program penyuluhan hukum berbasis nilai keadilan substantif dan kebaikan universal.
Penulis: Dr. H. Ikhsan Lubis, S.H., SpN., M.Kn, merupakan Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia