ISU kehalalan produk di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak akhir 1980-an, diawali dengan keresahan masyarakat terhadap isu kandungan non-halal dalam produk makanan, minuman dan penyedap rasa yang beredar. Rasa khawatir itu kemudian melahirkan inisiatif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM-MUI) pada tahun 1989. Sejak saat itu, sertifikasi halal hadir sebagai layanan berbasis kesadaran produsen dan permintaan pasar.
Selama puluhan tahun, label halal bersifat sukarela (voluntary). Produsen yang ingin mendapatkan kepercayaan lebih dari konsumen Muslim (yang mempersyaratkan kehalalan) akan mengajukan sertifikasi, sementara yang lain bisa tetap memasarkan produknya tanpa label halal. Namun, paradigma itu berubah drastis ketika Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) disahkan. Regulasi ini menjadikan sertifikasi halal sebagai kewajiban (mandatory), dan negara hadir melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk mengatur, sementara MUI tetap berperan dalam penetapan fatwa halal.
Terakhir BPJPH berkedudukan sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2024, dan merupakan pemegang otoritas utama penyelenggara jaminan produk halal di Indonesia. Struktur terkininya mencakup Kepala BPJPH, Wakil Kepala, Sekretariat Utama, serta tiga Deputi: Deputi Bidang Kemitraan dan Standardisasi Halal, Deputi Bidang Registrasi dan Sertifikasi Halal, dan Deputi Bidang Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal.
Langkah ini menggeser halal dari fatwa keagamaan menjadi kewajiban hukum yang mengikat. Tujuannya jelas: memberikan “kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat”. Jadi, Kebutuhan akan jaminan produk halal bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keniscayaan sosial dan spiritual, baik sekala nasional maupun global. Bagaimana fungsi dan kontribusinya kepada umat dan bangsa ini?
Peluang Besar dan Tantangannya
Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM dan laporan dari Kompas.com diperkiraan jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2024 lebih dari 65 juta unit usaha. Jumlah UMKM ini merupakan yang terbesar di Indonesia dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, menyerap 97% tenaga kerja dan menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jutaan UMKM-tulang punggung ekonomi Indonesia-menjadi pihak yang paling terdampak. Program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) memang membantu, tetapi akar masalahnya lebih kompleks.
Di sisi lain, berdasarkan jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai 241,7 juta atau 89,02% dari populasi Indonesia maka industri halal Indonesia memiliki potensi untuk terus berkembang. Menurut World Halal Summit 2022, Indonesia merupakan satu aktor utama dalam industri halal global.
Meskipun demikian pengembangan industri halal menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan kepatuhan terhadap standar halal yang ketat. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah telah menetapkan kewajiban halal produk industri makanan dan minuman per 17 Oktober 2024. Akan tetapi hingga saat ini belum semua produk industri tersebut tersertifikasi halal. Menurut data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, per Februari 2024, tercatat sebanyak 822 industri kecil sektor makanan dan minuman telah terverifikasi dalam pengajuan fasilitas sertifikasi halal gratis dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia.
Salah satu sebabnya adalah karena proses sertifikasi halal seringkali memerlukan waktu dan biaya yang signifikan terutama bagi produsen kecil dan menengah. Meningkatkan efisiensi proses sertifikasi adalah salah satu langkah yang perlu diambil untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dalam industri ini. Selain itu, penting untuk mengatasi masalah keberlanjutan dalam industri halal. Adakalanya, penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan dalam produk halal masih belum menjadi prioritas.
Pemikiran ke depan yang berfokus pada keberlanjutan akan membantu menciptakan produk halal yang tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen saat ini, tetapi juga memastikan lingkungan yang sehat untuk generasi mendatang. Tantangan lainnya ialah meningkatkan pemahaman tentang standar halal di kalangan produsen dan konsumen. Semakin banyak orang yang memahami arti dan pentingnya sertifikasi halal, maka semakin besar permintaan untuk produk halal. Pemerintah dan pihak berkepentingan perlu bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman ini.
Peluang besar semakin terbuka melihat potensi isu halal ini tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga berskala global. Konsep halalan thayyiban mengubah label halal menjadi standar mutu global. Proses sertifikasi tidak sekadar memeriksa bahan, tetapi juga higienitas pabrik, keamanan kemasan, dan rantai distribusi. Dengan demikian, label halal berfungsi seperti ISO atau label organik-sebuah jaminan kualitas universal.
Merawat Bangsa: Industri Halal sebagai Pilar Ekonomi
Jika “Menjaga Umat” adalah fungsi defensif, maka “Merawat Bangsa” adalah fungsi ofensif: halal sebagai motor pembangunan ekonomi nasional. Bidang ini dapat berfungsi seperti Mesin pendorong Pertumbuhan Ekonomi. Belanja domestik produk halal Indonesia pada 2020 mencapai USD 184 miliar. Jika dikelola, potensi ini dapat menyumbang USD 5,1 miliar per tahun ke PDB, terutama dari ekspor dan investasi. Halal juga menjadi strategi diversifikasi ekonomi: dari ketergantungan pada komoditas mentah ke produk bernilai tambah seperti makanan olahan, kosmetik, farmasi, dan fesyen.
Tahun 2025 ini pemerintah menarget nilai ekspor halal mencapai Rp 225 triliun. Indonesia sudah menunjukkan kiprahnya: 15 perusahaan nasional masuk daftar 30 perusahaan halal global teratas. Dengan sertifikasi wajib, produk lokal otomatis lebih siap ekspor dan berdaya saing global.
Selain itu halal juga instrumen diplomasi. Dengan UU JPH yang komprehensif, Indonesia tak sekadar ikut pasar, tapi berusaha mendefinisikan standar global. BPJPH aktif menjalin pengakuan timbal balik dengan negara lain, dari Amerika Serikat hingga Peru. Visi besar ini dirangkum dalam semboyan: “Indonesian Halal for the World Community”.
Label halal di Indonesia kini memiliki dua wajah: Pertama, Perisai perlindungankonsumen melalui standar halal-thayyib. Kedua, Tombak pembangunan bangsa melalui pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan diplomasi. Namun, keberhasilan visi besar ini bergantung pada kemampuan menyelesaikan paradoks: antara ambisi makro dan realitas mikro. UMKM tidak boleh dibiarkan terhimpit. Strategi halal nasional harus bergeser dari sekadar menerbitkan jutaan sertifikat ke membangun rantai pasok hulu: rumah potong hewan, bahan baku, logistik, hingga laboratorium uji. Jika dikelola dengan bijak dan inklusif, label halal bukan hanya simbol agama, melainkan identitas bangsa. Ia dapat menjadi duta Indonesia yang modern, berdaya saing, dan adil bagi seluruh rakyat.
Strategi Pengembangan
Achmad Muchaddam Fahham (2024), seorang Analis Legislatif Ahli Madya di Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian Setjen DPR RI, dalam Tantangan dan Strategi Pengembangan Industri Halal Di Indonesia menulis setidaknya ada empat strategi yang perlu diterapkan dalam pengembangan industri halal di Indonesia, yakni: pertama, peningkatan produktivitas dan daya saing, strategi ini dilakukan melalui empat program utama, yaitu penguatan rantai nilai halal; pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan mampu bersaing; penguatan pelaku industri halal yang mencakup Industri/Usaha Mikro Kecil dan Menengah (I/UMKM) dan pesantren, serta penguatan inkubasi startup bisnis halal berbasis inovasi dan teknologi; dan peningkatan riset dan inovasi.
Kedua, penerapan serta penguatan kebijakan dan regulasi, terdiri dari dua program utama, yaitu penguatan industri halal melalui dukungan kebijakan dan regulasi yang memiliki kecukupan kemanfaatan, kepastian, dan keadilan; dan penerapan sistem jaminan produk halal (sertifikasi dan traceability). Ketiga, penguatan keuangan dan infrastruktur, mempunyai tiga program utama, yaitu dukungan keuangan syariah yang inklusif; penguatan infrastruktur industri halal; dan penyusunan indikator dan database industri halal oleh otorita data nasional.
Keempat, penguatan halal brand and awareness, meliputi dua program utama, yaitu peningkatan preferensi sosial dan halal lifestyle melalui promosi dan edukasi; dan terjalinnya hubungan diplomasi ekonomi internasional dalam bidang industri halal. Implementasi strategi-strategi tersebut, diharapkan industri halal di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, meningkatkan daya saing di pasar global, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Penutup
Perjalanan menuju Indonesia sebagai pusat halal dunia masih panjang. Tantangan utamanya bukan pada jumlah sertifikat yang diterbitkan, tetapi pada integritas sistem dan keadilan ekosistem. Tanpa itu, label halal berisiko menjadi formalitas belaka. Namun jika dikelola dengan bijak, halal dapat menjadi identitas nasional baru: Indonesia yang modern, percaya diri, dan inklusif. Bukan hanya menjaga konsumsi umat Muslim, tetapi juga menghadirkan standar mutu universal yang bermanfaat bagi semua. Pada akhirnya, label halal bukan hanya soal kepatuhan hukum, melainkan warisan kepercayaan. Ia adalah janji kepada generasi mendatang bahwa bangsa ini mampu merawat nilai spiritual dan sosialnya sambil melangkah mantap di panggung dunia.
Penulis: M.Halomoan Lubis merupakan pemegang sertifikat Halal Supervisor dan Wakil Sekretaris PWNU Sumatera Utara.