Di sebuah kampung kecil pinggiran Kota Medan yang tidak terkenal di peta wisata kuliner, tinggal seorang pemuda bernama Reihan. Ia bukan siapa-siapa, tapi percaya diri seperti anak stand-up comedy yang baru naik panggung.
Suatu malam, Reihan merasa lapar. Lapar yang bukan sembarang lapar, tapi lapar yang membuat nasi padang pun terasa kurang pedas.
Ia pun pergi ke warung tenda favoritnya, “Nasi Goreng Bang Munthe”. Warung ini terkenal dengan nasi goreng level pedas B Aja sampai level “mulut tetangga”.
Kata Bang Munthe, “Kalau berani coba level mulut tetangga, berarti kamu udah siap menghadapi hidup!”
Tertantang oleh filosofi hidup yang terlalu dibumbui cabai, Reihan langsung berkata,
“Bang! Level Mulut Tetangga ya. Saya mau ngerasain seperti apa rasanya hidup yang sebenarnya!”
Bang Munthe hanya tersenyum simpul. “Yakin, dek? Yang terakhir makan level mulut tetangga, besoknya pensiun jadi anak kos.”
Reihan tertawa. “Santai bang, lidah saya alumni sambal terasi emak saya.”
Tak sampai lima menit, sepiring nasi goreng merah menyala mendarat di mejanya. Asapnya saja sudah bikin mata berkaca-kaca, seperti nonton film sedih.
Reihan menatap nasi itu seolah sedang menatap masa depan: penuh harapan dan sedikit ketakutan.
Suapan pertama masuk. Lidahnya langsung menari poco-poco. Suapan kedua, keringat mulai mengucur. Suapan ketiga, telinganya panas seperti habis ditelepon mantan. Suapan keempat, Reihan berdiri sambil teriak, “Bang! Ini bukan nasi goreng! Ini deklarasi perang terhadap sistem pencernaan manusia!”
Bang Munthe cuma tertawa. “Baru tau hidup itu nggak selalu manis, kan?”
Reihan pulang dengan perut bergolak seperti demo mahasiswa. Keesokan harinya, ia bolak-balik ke kamar mandi seperti sedang lari estafet. Tapi dari situ ia belajar satu hal: kadang, kita harus tahu batas diri. Tidak semua tantangan harus dihadapi dengan ego, apalagi yang bentuknya cabai rawit.
Petikan Hikmah:
Dalam hidup, keberanian itu penting. Tapi mengenali batas kemampuan juga bagian dari kebijaksanaan. Jangan sampai demi terlihat tangguh, kita malah membuat diri sendiri kewalahan. Seperti Reihan dan nasi goreng level mulut tetangga—kadang, hidup tak perlu terlalu “pedas” untuk bisa bermakna.
hidup bermakna